Dingin. Begitulah yang aku rasakan pukul
04:00 di Stasiun Bandung. Duduk di kursi tunggu dengan mata masih terasa berat.
Hanya ditemani ransel buluk abu-abu di punggung yang setia menemani kemanapun
aku pergi. Ternyata jaket biru dongker ini tak sia-sia aku terima dari
laki-laki itu 3 tahun lalu. Namun dengan jaket tebal ini tak bisa juga menahan
dinginnya shubuh. Walaupun sudah memakai jilbab tebal ditambah dengan kupluk
jaket ini. Tetap terasa dingin.
Aku menunggu KA Malabar yang akan datang pukul 4.38 nanti. Sebentar
lagi adzan Shubuh, aku segera ke
Musholla yang tersedia di stasiun, sambil menunggu kereta yang aku tumpangi
datang. Setelah sholat shubuh, sebentar ku buka smartphoneku untuk sekedar
melihat linimasa media sosial. Membuatku senyum-senyum sendiri saat pertama
yang aku lihat di linimasa media sosialku adalah laki-laki itu. Ya. Laki-laki
yang telah memberiku jaket biru dongkernya untukku 3 tahun lalu.
Ting tong ting tong...
“Kereta Malabar tujuan Malang, akan segera tiba, kepada para penumpang yang
menuju stasiun Malang, dimohon segera
mempersiapkan diri.”
Terdengar suara pengumuman mulai memanggil para calon penumpangnya. Aku
cepat-cepat memakai sepatu sneakers abu-abu dan setengah berlari ke arah peron
kereta. Tak terlalu penuh saat itu, sehingga aku bisa memasuki kereta dengan
lenggang. Aku memasuki kereta, lalu mencari tempat duduk sesuai dengan nomor
yang terdapat pada tiket yang aku punya.
Senang, bisa duduk di pinggir dekat
jendela. Entah mengapa dalam suatu perjalanan, hal yang aku nikmati adalah
duduk sambil melihat ke luar jendela. Bisa sekedar untuk melihat pemandangan di
luar, atau bisa juga untuk yaaa sekedar untuk mendramatisir keadaan bahwa aku
sedang dalam perjalanan hehehe.
Namun sepertinya perjalanan ke Malang
kali ini akan kuhabiskan untuk mengingat memori masa lalu dengan laki-laki itu.
“Hahahaha Saras, kamu masih tak bisa berpaling dari masa lalu kah?” bisik
hatiku sendiri saat itu.
“Ras, ga berasa yah
tahun depan kita udah jadi mahasiswa”
“iya, aku senang deh,
Nang. Waaa aku mau buru-buru jadi
mahasiswa keperawatan nih, Nang”
“Gimana ya Ras nanti
pas kita kuliah? Kita kan bakalan di universitas yang sama, Ras. Di Universitas
Brawijaya. Aku di teknik elektro, kamu di keperawatan”
“Nang, kok kamu pede
banget yah? Udah mengandai-andai aja, padahal ujian aja belum hahaha. Aku takut
ga lolos Nang...”
“Aihhh kamu, makanya
mumpung masih ada waktu buat belajar kita maksimalin aja Ras siapa tau
pengandaian kita terwujud, Ras. Aku semangat belajar nih biar bisa satu
universitas sama kamu hahahaha”
Ah, Lanang, sosok laki-laki itu yang
pernah mengisi warna-warni hidupku selama SMA. Cerdas, aktif, dan terlihat
selalu menawan dalam penglihatanku tentunya. Badannya tinggi tidak terlalu
gemuk, rambutnya yang sedikit kribo, kulitnya hitam manis, ditambah dengan
lesung pipinya menjadi tambah manis. Beruntungnya aku pernah bisa menjadi bagian
dari kisah hidup dia sekitar 2 tahun.
Kedekatan kami memang karena
dilatarbelakangi dengan kesukaan yang sama terhadap kegiatan sosial. Tak jarang
dahulu kami terlibat menjadi volunteer dalam kegiatan sosial yang sama. Sekedar
bakti sosial, atau menjadi panitia dalam kegiatan konser amal, dan masih banyak
lagi lainnya. Tentu, keberangkatanku kali ini membawa misi sama. Untuk kegiatan
sosial yang akan dilaksanakan di Malang.
Ya. Tempat Lanang saat ini berkuliah.
Pada akhirnya kami harus berpisah, karena kenyataannya kita tidak bisa di
universitas yang sama. Aku yang saat ini di Bandung dengan keperawatanku, dan
Lanang di Malang dengan Teknik Elektronya. Lanang tepat dengan tujuannya,
sedangkan aku terpental ke Bandung. Bukan hanya kita yang berpisah dengan
jarak. Tapi setelah 6 bulan menghadapi jarak tersebut, kami tak bisa
melaluinya. Memilih untuk sama-sama menjalankannya sendirian, dan tak bersama
lagi.
Hmmm.... Sekarang apa kabarmu Lanang?
Masih suka dalam kegiatan sosialkah? Atau masih suka bermain game online jika
penat? Masih suka mengoleksi gundam? Masih sering nonton film horor? Masih
senang dengan anak-anak? Masih suka menjadi MC? Masih suka dengan bakso dengan
jenis apapun? Atau masih suka dengan kebiasaanmu menggerak-gerakan kakimu jika
stress datang? Hahahaha masih ingat sekali aku tentangmu.
Berarti sudah 2 tahun aku tidak tahu
apa-apa lagi tentang kamu. Sejak kita memutuskan untuk tidak bersama lagi. Aku
tak pernah lagi menghubungimu, hmm… mungkin maksudnya aku yang tak pernah
mencoba menghubungimu lagi. Agar aku bisa benar-benar melupakanmu....
Agar aku bisa melupakanmu? Ahhh di
sebuah kalimat tersebut tersirat sebuah makna bahwa aku sedang berusaha
melupakanmu. Tapi tetap saja aku tak bisa. Selalu tiba-tiba mengingatmu,
Lanang. Aku selalu mengingat sosokmu yang selalu memberiku semangat dalam hal
apapun, dan di kondisi apapun. Sekarang, aku tak lagi mendapat semangat itu.
Ya. Sejak 2 tahun lalu itu.
Ah ya, banyak laki-laki yang telah aku
temui di Bandung sini, Lanang. Tapi mengapa sosokmu selalu menjadi bandingan? Aku
tidak merasa senyaman denganmu, Lanang. Mereka terlalu banyak mau. Tak
sepertimu yang bisa menerimaku apa adanya.
Matahari dalam kereta pukul 10.25,
membangunkanku. Bunyi perutku mulai terdengar, pertanda bahwa aku sudah lapar.
Aku memesan nasi goreng, dan segelas kopi ke pelayan kereta. Ku tengok ke luar,
ah perjalanan masih sangat panjang.
Lanang...
Sesungguhnya di dalam kereta ini aku
masih berharap bahwa nanti kita bisa bertemu. Namun aku egois. Aku tak mau mengabarkanmu,
tapi aku mau kamu tau aku sedang berada di kotamu. Kita dekat, Lanang.
Lanang....
Mungkinkah Tuhan akan mempertemukan kita
lagi kelak? Sedang aku selalu menghindarimu, menghindar dari pertemuan kita 1
tahun lalu saat reuni angkatan. Bahkan aku selalu menghindar dari pesan-pesan
yang masuk ke media sosial darimu. Entah apa alasanku, aku terlalu takut
mengingatmu Lanang...
Biar perjalanan kali ini aku banyak
menghabiskan waktu untuk mengingatmu. Anggap ini permintaan maafku karena
selalu menghindarimu. Ya. Aku memang pengecut. Bukan, kamu tidak pernah ada
salah denganku. Kita berpisah dengan cara baik bukan? Jadi kupastikan tak ada
yang salah dari kita. Namun, aku hanya terlalu takut jika bertemu denganmu
memori manis tentang kita bermain lagi di kepalaku.
Pukul 18.14, sampai juga aku di Stasiun
Malang. Hari ini tak dapat aku saksikan fajar dan senjanya Malang. Matahari
sudah terbenam ketika aku sampai dan menginjakkan kaki di Stasiun ini. Aku
memutuskan untuk mencari terlebih dahulu musholla untuk menunaikan sholat
maghrib. Sekedar untuk membasuh muka untuk melanjutkan langsung perjalanan ke
desa.
Aku masih menunggu seorang kawan yang
akan menjemputku di Stasiun Malang. Hilir mudik penumpang kereta, juga lalu
lalang kereta membuatku memberikan keputusan bahwa selesailah aku mengenangmu,
Lanang. Biar kesempatan lain yang akan memutar memori manis tentang kita lagi
nantinya.
Setelah aku bertemu dengan kawanku,
perjalananku terus dilanjutkan untuk bertemu dengan volunteer lainnya di tempat
penginapan yang terletak di dekat desa yang nantinya akan menjadi tempat untuk
kami mengeksekusi proyek yang kami akan laksanakan. Perjalananku kali ini sudah
tak sendiri, ada Mas Anto yang kali ini di hadapanku dengan menjelaskan tentang
proyek kita selama di desa nanti.
Lanang, aku masih berharap bahwa kamu
yang di hadapanku menjelaskanku tentang kegiatan kita selama di desa nanti.
Ah... tapi itu tidak mungkin. “Saras, lupakan!” tekadku dalam hati.
Aku memutuskan untuk meletakkan barang
bawaanku terlebih dahulu di kamar yang telah disediakan. Serta mandi dan
berganti pakaian. Kini, aku sudah benar-benar melupakanmu, Lanang. Aku harus
fokus terhadap proyekku 2 minggu ke depan di desa ini. Aku sudah tekadkan dalam
hatiku bahwa aku harus total dalam menjalani proyekku selama di sini.
2 minggu berlalu, melelahkan juga
menyenangkan. Bertemu dengan warga di desa ini, memberikan pelatihan-pelatihan,
juga berbincang-bincang, sedikit membantu petani, juga kegiatan mengajar rutin
pada pagi hari. Dari mulai anak-anak hingga para tetua desa ini sangat ramah.
Lelah sudah tak lagi terasa. Terasa berat untuk meninggalkan desa ini sore
nanti. Karena desa ini memberiku banyak pengalaman dan juga pelajaran. Perlu
kalian ketahui, para volunteer lain juga melakukan hal yang sama denganku.
Namun, mereka terbagi ke beberapa desa di Malang. Malam nanti, akan ada acara
puncak untuk pertemuan volunteer se Pulau Jawa di kota Malang. Oleh karena itu,
sore hari ini aku harus pergi ke tempat malam puncak acara tersebut.
Tepat pukul 19.00 aku beranjak ke aula
tempat acara berlangsung bersama Arin, teman sekamar yang juga partner kerjaku
selama 2 minggu di desa. Aku mencari-cari Mas Anto, untuk meminta tugasku yang
dihandlenya terlebih dahulu. “Saras, kamu nanti yang menjadi MC saja ya.
Kebetulan Nanda terlambat dari desanya karena ban mobil yang menjemput mereka
untuk keluar dari desa mogok. Oh iya, kamu nanti berpasangan kok jadi MCnya.
Sini aku kenalin ke partner MC mu” kata mas Anto.
Aku membuntutinya dari belakang, Mas Anto mengarah pada seorang laki-laki berbadan tinggi, dengan badan yang proporsional dengan tingginya, rambutnya agak kriting, namun dengan potongan pendek. Aku masih melihatnya dari belakang, ia masih sibuk dengan memasang dasinya untuk acara resmi ini. “Aji, sini kenalan sama Saras. Partner MC kamu” , laki-laki itu segera menoleh.
Aku membuntutinya dari belakang, Mas Anto mengarah pada seorang laki-laki berbadan tinggi, dengan badan yang proporsional dengan tingginya, rambutnya agak kriting, namun dengan potongan pendek. Aku masih melihatnya dari belakang, ia masih sibuk dengan memasang dasinya untuk acara resmi ini. “Aji, sini kenalan sama Saras. Partner MC kamu” , laki-laki itu segera menoleh.
“Saras?” kata laki-laki itu.
“Lanang?” kataku dengan rasa terkejut luar biasa.
Ya. Namanya adalah Lanang Aji Rahman. Entah
ini sebuah takdir atau memang kebetulan. Tapi aku yakin, Tuhan memiliki rencana di setiap kebetulannya. Malam
ini, aku bertemu lagi dengannya, Lanang. Sosok yang 2 minggu lalu baru aku
impikan untuk bertemu dengannya kini di hadapanku menjadi pasangan MC-ku.
Sedikit canggung setelah 2 tahun ini tak bertemu dengannya. Ups, bukan tak
bertemu, tapi aku menghindarinya.
Tak banyak perbincangan kami malam itu
setelah MC, sudah sama-sama lelah dengan kegiatan kami kemarin. “Kamu pulang
besok tah, Ras?” katanya sambil
melepas dasinya. “iya nang, aku udah ada tiket untuk pulang besok pagi jam
7.21” jawabku. “Mau ku antar?” tanyanya. Anggukan kepalaku menjadi jawabanku
kala itu. Aku mungkin terlihat bodoh, langsung menerima tawarannya begitu saja.
Tapi, kau harus tau Lanang, aku benar-benar rindu.
Pagi itu, kita harus berpisah. Pertemuan
yang hanya kilat itu memberikan jawaban-jawaban yang menjadi jawaban dari
perjalananku selama ke Malang. Entah ini nyata atau hanya sekedar mimpi.
Pukul 07.21, berjalannya kereta menuju
Bandung.
Ting... (pukul 07.23)
From: Lanang
Jangan kapok datang ke Malang, Saras :p Semoga dengan pertemuan kembali kita semalam kamu tak lagi menghindari pesan-pesanku. Hati-hati, Saras. Semoga kamu sampai dengan lancar dan selamat sampai ke Bandung.
Ting.... (pukul 07.28)
From: Lanang
Saras, aku masih berdiri di stasiun. Aku mendapat filosofi dari sebuah kereta dan stasiun. Setiap kereta menempuh perjalanan jauh, singgah di banyak stasiun, sekedar menaik turunkan penumpangnya, lalu melanjutkan perjalanannya lagi sampai ke tempat tujuan akhir, bila sudah sampai di tujuan akhir, maka kereta akan kembali ke stasiun awal dengan membawa penumpang yang berbeda lagi.
Dan kereta itu adalah aku, Ras. Setelah aku melakukan “perjalanan panjang”, aku betualang, berhenti di tiap perempuan yang aku anggap nyaman. Bila harus berjalan lagi, aku berhenti lagi di perempuan lainnya. Dan aku sadar, bahwa stasiun awal adalah tempatku kembali yang sebenarnya, bukan stasiun- stasiun untuk singgah sementara. Aku tahu, stasiun awal itu adalah kamu, tempat paling nyaman yang pernah aku dapati. Ternyata aku butuh kembali. Kamu adalah tempat aku kembali, Ras...
Jadi masihkah kamu mau menganggapku sebagai kereta terakhirmu? Karena aku tahu, kamulah stasiun awalku, Ras.