Senin, 11 April 2016

Filosofi Sebuah Kereta dan Stasiun (Cerpen)

Dingin. Begitulah yang aku rasakan pukul 04:00 di Stasiun Bandung. Duduk di kursi tunggu dengan mata masih terasa berat. Hanya ditemani ransel buluk abu-abu di punggung yang setia menemani kemanapun aku pergi. Ternyata jaket biru dongker ini tak sia-sia aku terima dari laki-laki itu 3 tahun lalu. Namun dengan jaket tebal ini tak bisa juga menahan dinginnya shubuh. Walaupun sudah memakai jilbab tebal ditambah dengan kupluk jaket ini. Tetap terasa dingin.
Aku menunggu KA Malabar yang akan datang pukul 4.38 nanti. Sebentar lagi adzan Shubuh, aku  segera ke Musholla yang tersedia di stasiun, sambil menunggu kereta yang aku tumpangi datang. Setelah sholat shubuh, sebentar ku buka smartphoneku untuk sekedar melihat linimasa media sosial. Membuatku senyum-senyum sendiri saat pertama yang aku lihat di linimasa media sosialku adalah laki-laki itu. Ya. Laki-laki yang telah memberiku jaket biru dongkernya untukku 3 tahun lalu.     

Ting tong ting tong...
“Kereta Malabar tujuan Malang, akan segera tiba, kepada para penumpang yang menuju stasiun Malang,  dimohon segera mempersiapkan diri.”

Terdengar suara pengumuman mulai memanggil para calon penumpangnya. Aku cepat-cepat memakai sepatu sneakers abu-abu dan setengah berlari ke arah peron kereta. Tak terlalu penuh saat itu, sehingga aku bisa memasuki kereta dengan lenggang. Aku memasuki kereta, lalu mencari tempat duduk sesuai dengan nomor yang terdapat pada tiket yang aku punya.
Senang, bisa duduk di pinggir dekat jendela. Entah mengapa dalam suatu perjalanan, hal yang aku nikmati adalah duduk sambil melihat ke luar jendela. Bisa sekedar untuk melihat pemandangan di luar, atau bisa juga untuk yaaa sekedar untuk mendramatisir keadaan bahwa aku sedang dalam perjalanan hehehe.
Namun sepertinya perjalanan ke Malang kali ini akan kuhabiskan untuk mengingat memori masa lalu dengan laki-laki itu. “Hahahaha Saras, kamu masih tak bisa berpaling dari masa lalu kah?” bisik hatiku sendiri saat itu.
“Ras, ga berasa yah tahun depan kita udah jadi mahasiswa”
“iya, aku senang deh, Nang. Waaa aku mau buru-buru jadi  mahasiswa keperawatan nih, Nang”
“Gimana ya Ras nanti pas kita kuliah? Kita kan bakalan di universitas yang sama, Ras. Di Universitas Brawijaya. Aku di teknik elektro, kamu di keperawatan”
“Nang, kok kamu pede banget yah? Udah mengandai-andai aja, padahal ujian aja belum hahaha. Aku takut ga lolos Nang...”
“Aihhh kamu, makanya mumpung masih ada waktu buat belajar kita maksimalin aja Ras siapa tau pengandaian kita terwujud, Ras. Aku semangat belajar nih biar bisa satu universitas sama kamu hahahaha”
Ah, Lanang, sosok laki-laki itu yang pernah mengisi warna-warni hidupku selama SMA. Cerdas, aktif, dan terlihat selalu menawan dalam penglihatanku tentunya. Badannya tinggi tidak terlalu gemuk, rambutnya yang sedikit kribo, kulitnya hitam manis, ditambah dengan lesung pipinya menjadi tambah manis. Beruntungnya aku pernah bisa menjadi bagian dari kisah hidup dia sekitar 2 tahun.
Kedekatan kami memang karena dilatarbelakangi dengan kesukaan yang sama terhadap kegiatan sosial. Tak jarang dahulu kami terlibat menjadi volunteer dalam kegiatan sosial yang sama. Sekedar bakti sosial, atau menjadi panitia dalam kegiatan konser amal, dan masih banyak lagi lainnya. Tentu, keberangkatanku kali ini membawa misi sama. Untuk kegiatan sosial yang akan dilaksanakan di Malang.
Ya. Tempat Lanang saat ini berkuliah. Pada akhirnya kami harus berpisah, karena kenyataannya kita tidak bisa di universitas yang sama. Aku yang saat ini di Bandung dengan keperawatanku, dan Lanang di Malang dengan Teknik Elektronya. Lanang tepat dengan tujuannya, sedangkan aku terpental ke Bandung. Bukan hanya kita yang berpisah dengan jarak. Tapi setelah 6 bulan menghadapi jarak tersebut, kami tak bisa melaluinya. Memilih untuk sama-sama menjalankannya sendirian, dan tak bersama lagi.
Hmmm.... Sekarang apa kabarmu Lanang? Masih suka dalam kegiatan sosialkah? Atau masih suka bermain game online jika penat? Masih suka mengoleksi gundam? Masih sering nonton film horor? Masih senang dengan anak-anak? Masih suka menjadi MC? Masih suka dengan bakso dengan jenis apapun? Atau masih suka dengan kebiasaanmu menggerak-gerakan kakimu jika stress datang? Hahahaha masih ingat sekali aku tentangmu.
Berarti sudah 2 tahun aku tidak tahu apa-apa lagi tentang kamu. Sejak kita memutuskan untuk tidak bersama lagi. Aku tak pernah lagi menghubungimu, hmm… mungkin maksudnya aku yang tak pernah mencoba menghubungimu lagi. Agar aku bisa benar-benar melupakanmu....
Agar aku bisa melupakanmu? Ahhh di sebuah kalimat tersebut tersirat sebuah makna bahwa aku sedang berusaha melupakanmu. Tapi tetap saja aku tak bisa. Selalu tiba-tiba mengingatmu, Lanang. Aku selalu mengingat sosokmu yang selalu memberiku semangat dalam hal apapun, dan di kondisi apapun. Sekarang, aku tak lagi mendapat semangat itu. Ya. Sejak 2 tahun lalu itu.
Ah ya, banyak laki-laki yang telah aku temui di Bandung sini, Lanang. Tapi mengapa sosokmu selalu menjadi bandingan? Aku tidak merasa senyaman denganmu, Lanang. Mereka terlalu banyak mau. Tak sepertimu yang bisa menerimaku apa adanya.
Matahari dalam kereta pukul 10.25, membangunkanku. Bunyi perutku mulai terdengar, pertanda bahwa aku sudah lapar. Aku memesan nasi goreng, dan segelas kopi ke pelayan kereta. Ku tengok ke luar, ah perjalanan masih sangat panjang.
Lanang...
Sesungguhnya di dalam kereta ini aku masih berharap bahwa nanti kita bisa bertemu. Namun aku egois. Aku tak mau mengabarkanmu, tapi aku mau kamu tau aku sedang berada di kotamu. Kita dekat, Lanang.
Lanang....
Mungkinkah Tuhan akan mempertemukan kita lagi kelak? Sedang aku selalu menghindarimu, menghindar dari pertemuan kita 1 tahun lalu saat reuni angkatan. Bahkan aku selalu menghindar dari pesan-pesan yang masuk ke media sosial darimu. Entah apa alasanku, aku terlalu takut mengingatmu Lanang...
Biar perjalanan kali ini aku banyak menghabiskan waktu untuk mengingatmu. Anggap ini permintaan maafku karena selalu menghindarimu. Ya. Aku memang pengecut. Bukan, kamu tidak pernah ada salah denganku. Kita berpisah dengan cara baik bukan? Jadi kupastikan tak ada yang salah dari kita. Namun, aku hanya terlalu takut jika bertemu denganmu memori manis tentang kita bermain lagi di kepalaku.
Pukul 18.14, sampai juga aku di Stasiun Malang. Hari ini tak dapat aku saksikan fajar dan senjanya Malang. Matahari sudah terbenam ketika aku sampai dan menginjakkan kaki di Stasiun ini. Aku memutuskan untuk mencari terlebih dahulu musholla untuk menunaikan sholat maghrib. Sekedar untuk membasuh muka untuk melanjutkan langsung perjalanan ke desa.
Aku masih menunggu seorang kawan yang akan menjemputku di Stasiun Malang. Hilir mudik penumpang kereta, juga lalu lalang kereta membuatku memberikan keputusan bahwa selesailah aku mengenangmu, Lanang. Biar kesempatan lain yang akan memutar memori manis tentang kita lagi nantinya.
Setelah aku bertemu dengan kawanku, perjalananku terus dilanjutkan untuk bertemu dengan volunteer lainnya di tempat penginapan yang terletak di dekat desa yang nantinya akan menjadi tempat untuk kami mengeksekusi proyek yang kami akan laksanakan. Perjalananku kali ini sudah tak sendiri, ada Mas Anto yang kali ini di hadapanku dengan menjelaskan tentang proyek kita selama di desa nanti.
Lanang, aku masih berharap bahwa kamu yang di hadapanku menjelaskanku tentang kegiatan kita selama di desa nanti. Ah... tapi itu tidak mungkin. “Saras, lupakan!” tekadku dalam hati.
Aku memutuskan untuk meletakkan barang bawaanku terlebih dahulu di kamar yang telah disediakan. Serta mandi dan berganti pakaian. Kini, aku sudah benar-benar melupakanmu, Lanang. Aku harus fokus terhadap proyekku 2 minggu ke depan di desa ini. Aku sudah tekadkan dalam hatiku bahwa aku harus total dalam menjalani proyekku selama di sini.
2 minggu berlalu, melelahkan juga menyenangkan. Bertemu dengan warga di desa ini, memberikan pelatihan-pelatihan, juga berbincang-bincang, sedikit membantu petani, juga kegiatan mengajar rutin pada pagi hari. Dari mulai anak-anak hingga para tetua desa ini sangat ramah. Lelah sudah tak lagi terasa. Terasa berat untuk meninggalkan desa ini sore nanti. Karena desa ini memberiku banyak pengalaman dan juga pelajaran. Perlu kalian ketahui, para volunteer lain juga melakukan hal yang sama denganku. Namun, mereka terbagi ke beberapa desa di Malang. Malam nanti, akan ada acara puncak untuk pertemuan volunteer se Pulau Jawa di kota Malang. Oleh karena itu, sore hari ini aku harus pergi ke tempat malam puncak acara tersebut.
Tepat pukul 19.00 aku beranjak ke aula tempat acara berlangsung bersama Arin, teman sekamar yang juga partner kerjaku selama 2 minggu di desa. Aku mencari-cari Mas Anto, untuk meminta tugasku yang dihandlenya terlebih dahulu. “Saras, kamu nanti yang menjadi MC saja ya. Kebetulan Nanda terlambat dari desanya karena ban mobil yang menjemput mereka untuk keluar dari desa mogok. Oh iya, kamu nanti berpasangan kok jadi MCnya. Sini aku kenalin ke partner MC mu” kata mas Anto.

Aku membuntutinya dari belakang, Mas Anto mengarah pada seorang laki-laki berbadan tinggi, dengan badan yang proporsional dengan tingginya, rambutnya agak kriting, namun dengan potongan pendek. Aku masih melihatnya dari belakang, ia masih sibuk dengan memasang dasinya untuk acara resmi ini. “Aji, sini kenalan sama Saras. Partner MC kamu” , laki-laki itu segera menoleh.

“Saras?”  kata laki-laki itu.
“Lanang?” kataku dengan rasa terkejut luar biasa.
Ya. Namanya adalah Lanang Aji Rahman. Entah ini sebuah takdir atau memang kebetulan. Tapi aku yakin, Tuhan  memiliki rencana di setiap kebetulannya. Malam ini, aku bertemu lagi dengannya, Lanang. Sosok yang 2 minggu lalu baru aku impikan untuk bertemu dengannya kini di hadapanku menjadi pasangan MC-ku. Sedikit canggung setelah 2 tahun ini tak bertemu dengannya. Ups, bukan tak bertemu, tapi aku menghindarinya.
Tak banyak perbincangan kami malam itu setelah MC, sudah sama-sama lelah dengan kegiatan kami kemarin. “Kamu pulang besok tah, Ras?”  katanya sambil melepas dasinya. “iya nang, aku udah ada tiket untuk pulang besok pagi jam 7.21”  jawabku. “Mau ku antar?”  tanyanya. Anggukan kepalaku menjadi jawabanku kala itu. Aku mungkin terlihat bodoh, langsung menerima tawarannya begitu saja. Tapi, kau harus tau Lanang, aku benar-benar rindu.
Pagi itu, kita harus berpisah. Pertemuan yang hanya kilat itu memberikan jawaban-jawaban yang menjadi jawaban dari perjalananku selama ke Malang. Entah ini nyata atau hanya sekedar mimpi.
Pukul 07.21, berjalannya kereta menuju Bandung.
Ting... (pukul 07.23)
From: Lanang
Jangan kapok datang ke Malang, Saras :p Semoga dengan pertemuan kembali kita semalam kamu tak lagi menghindari pesan-pesanku. Hati-hati, Saras. Semoga kamu sampai dengan lancar dan selamat sampai ke Bandung.
 Ting.... (pukul 07.28)
            From: Lanang
Saras, aku masih berdiri di stasiun. Aku mendapat filosofi dari sebuah kereta dan stasiun. Setiap kereta menempuh perjalanan jauh, singgah di banyak stasiun, sekedar menaik turunkan penumpangnya, lalu melanjutkan perjalanannya lagi sampai ke tempat tujuan akhir, bila sudah sampai di tujuan akhir, maka kereta akan kembali ke stasiun awal dengan membawa penumpang yang berbeda lagi. 
Dan kereta itu adalah aku, Ras. Setelah aku melakukan “perjalanan panjang”, aku betualang, berhenti di tiap perempuan yang aku anggap nyaman. Bila harus berjalan lagi, aku berhenti lagi di perempuan lainnya. Dan aku sadar, bahwa stasiun awal adalah tempatku kembali yang sebenarnya, bukan stasiun-             stasiun untuk singgah sementara. Aku tahu, stasiun awal itu adalah kamu, tempat paling nyaman yang pernah aku dapati. Ternyata aku butuh kembali. Kamu adalah tempat aku kembali, Ras...
Jadi masihkah kamu mau menganggapku sebagai kereta terakhirmu? Karena aku tahu,  kamulah stasiun awalku, Ras.
Lanang, apa ini yang dinamakan gayung bersambut? Apa aku tak bermimpi? Terjawab sudah segala pertanyaanku di atas kereta di awal keberangkatanku. Jawaban darimu tentang filosofi sebuah kereta dan stasiun. Sebentar Lanang, aku sedang mengetik pesan untukmu. 


Ruhma Hafia, 
Jatinangor

Rabu, 06 April 2016

KARENA KITA ADALAH FANA

Salam.
Manusia sering takut untuk dilupakan, alasannya adalah karena kita adalah fana. Banyak yang mencari keabadian lewat senyum dan tawa, sekalipun itu hanyalah pura-pura. Sebagian lagi mencari keabadiaan lewat sedih dan luka, sekalipun itu melelahkan dan membutuhkan waktu yang panjang, semua orang akan tetap mencarinya. Ya! Mencari keabadian itu.
Jelas padahal manusia adalah  fana. Namun, masih terus dicari. Mencari-cari alasan untuk menampik bahwa kita adalah sebuah kefanaan. Di celah sekecil apapun, terkadang kita pasti menutupinya untuk menguatkan bahwa kita adalah bukan sebuah kefanaan. 
Bukankah hanya Allah yang Mahaabadi? Entah mengapa aku, kamu,  mereka terkadang sangat sibuk mencari keabadian. Entah lupa, atau pura-pura melupakan. Lalu, selain itu? Tak adakah yang abad
DOA.
Ya, jawaban itu baru kutemui. Bahwa sejatinya doa adalah suatu keabadian. Investasi bagi siapapun dan dimanapun. 
Kamu, maukah kamu abadi?
Jangan takut fana. Aku akan mengabadikanmu dalam doa. Karena setiap doa akan terbang ke arsy, menembus 7 langit-Nya, dan abadi di sisi-Nya.
Kamu, jangan biarkan doaku bertepuk sebelah tangan. Karena aku hanyalah fana. Doamu yang mengabadikanku di sisi-Nya

Wassalam.
Ruhma Hafia,
Jatinangor.